6 Prinsip Menjalankan Profesi Advokat [opini sederhana]
Kami berpendapat, jika advokat sempat ditahan maka baik secara pribadi maupun sebagai pelaku profesi, orang itu sudah dalam posisi terjepit dalam menjalankan profesi Advokat. Walau demikian, bisa saja terjadi, advokat dalam melakukan fungsinya melakukan kesalahan [tindak-pidana], misalkan menghina, memukul, memaki, menonjok duluan, jadi si-advokat [apalagi yang dalam status magang] ini melakukan fungsi dan tugas advokat ++ dimana ++.nya ini berasa seperti pembela yang kebal-hukum, ngerasa semua yang dikerjain itu bener [padahal salah]. Kesalahan inilah [++] yang dihajar balik oleh polisi & langsung dilakukan penahanan atau ditangkap seketika.
Tak ubahnya seperti seorang dokter
ketika melakukan pembedahan, tiba-tiba dia emosi karena kesalahan
asistennya, dan langsung menganiaya si-asisten di ruang bedah memakai
pisau bedah yang ada ditangannya [tetap salah toh]. Jadi dokter atau
advokat harus dilihat dulu secara mendalam unsur kesalahan apa yang
menyebabkan ia ditangkap atau ditahan. Terkadang saya sendiri suka
menasehati advokat yang belum berlisensi agar berhati-hati ketika
mendampingi klien di kepolisian, supaya tidak disalahkan karena
si-asisten ini adalah advokat-palsu alias belum memiliki izin. Karena
kalo si-polisi lagi be-te mendadak tu asisten ditangkep urusan bisa
tambah runyam.
Seperti dalam suatu persidangan pidana, ketika kita melawan JPU atau melawan Pengacara Lawan [dalam persidangan-perdata], kita akan saling mencari titik-kesalahan terkecil dari pihak lawan, guna mematahkan kekuatan lawan dalam suatu perkara & menguatkan kedudukan kita agar dimenangkan. Tentu upaya ini harus berdasarkan fakta, dasar dan analisa yuridis hukum yang logis, bukan dengan cara nekat atau ujung-ujungnya cari bekingan [ini namanya pengecut, begitu kepojok, sambil nangis langsung nyari emak].
Demikian juga Polisi dan Jaksa-pun akan berperilaku demikian terhadap kita [advokat], ketika mereka akan "menghantam" dan mencari kelemahan klien [tersangka/terdakwa], dan tidak terbatas mereka-pun akan mencari kelemahan si-advokat selaku kuasa-hukum. Kesalahan atau kelemahan si-advokat inilah yang tidak di-ekspose. Namun polisi telah melihat bahwa tindakan advokat ini ada unsur-pidana, maka tanpa ba-bi-bu-be-bo langsung ditangkaplah si-advokat, tapi penangkapan biasanya bukan dalam kapasitas selaku advokat namun selaku pribadi.
Yang dimaksud im-munitas dalam UU Advokat, lebih gampang jika dikasih contoh sebagai berikut. Seorang advokat dalam melakukan pembelaan atau mendampingi klien tersangka tindak pidana teroris yang baru sukses meledakkan bom => advokat tidak boleh dilarang mendampingi klien demikian, atau tidak boleh disamakan dengan teroris. Advokat melakukan pendampingan klien tersangka pengedar Narkoba, seorang koruptor, seorang tersangka/terdakwa tindak pidana perdagangan orang => advokat tidak boleh [walau diduga sekalipun] bersalah dan mengetahui selak-beluk kejahatan kliennya.
Seperti dalam suatu persidangan pidana, ketika kita melawan JPU atau melawan Pengacara Lawan [dalam persidangan-perdata], kita akan saling mencari titik-kesalahan terkecil dari pihak lawan, guna mematahkan kekuatan lawan dalam suatu perkara & menguatkan kedudukan kita agar dimenangkan. Tentu upaya ini harus berdasarkan fakta, dasar dan analisa yuridis hukum yang logis, bukan dengan cara nekat atau ujung-ujungnya cari bekingan [ini namanya pengecut, begitu kepojok, sambil nangis langsung nyari emak].
Demikian juga Polisi dan Jaksa-pun akan berperilaku demikian terhadap kita [advokat], ketika mereka akan "menghantam" dan mencari kelemahan klien [tersangka/terdakwa], dan tidak terbatas mereka-pun akan mencari kelemahan si-advokat selaku kuasa-hukum. Kesalahan atau kelemahan si-advokat inilah yang tidak di-ekspose. Namun polisi telah melihat bahwa tindakan advokat ini ada unsur-pidana, maka tanpa ba-bi-bu-be-bo langsung ditangkaplah si-advokat, tapi penangkapan biasanya bukan dalam kapasitas selaku advokat namun selaku pribadi.
Yang dimaksud im-munitas dalam UU Advokat, lebih gampang jika dikasih contoh sebagai berikut. Seorang advokat dalam melakukan pembelaan atau mendampingi klien tersangka tindak pidana teroris yang baru sukses meledakkan bom => advokat tidak boleh dilarang mendampingi klien demikian, atau tidak boleh disamakan dengan teroris. Advokat melakukan pendampingan klien tersangka pengedar Narkoba, seorang koruptor, seorang tersangka/terdakwa tindak pidana perdagangan orang => advokat tidak boleh [walau diduga sekalipun] bersalah dan mengetahui selak-beluk kejahatan kliennya.
Dulu
jarang ada advokat berani melakukan pra-peradilan atau mengajukan
SP-3, karena diangap melakukan PMH namun sekarang hal ini sudah menjadi
hal biasa. Dulu ada anggapan bahwa seorang advokat menggugat
salah-satu pihak, apalagi jika yang digugat adalah pejabat pemerintah
atau konglomerat, maka kalo gugatannya kalah, maka dianggap advokat ini
salah => sekarang sudah ga zaman mode kaya begini, mau putusan
kalah mau menang itu urusan hakim, bukan kesalahan atau kepandaian
advokat. Dan lain-lain contoh yang kalau diurai bisa kepajangan artikel
ini :-)
Nah supaya tidak menjadi Advokat yang
apes, pernah dan seringkali saya berpesan kepada teman2 mahasiswa
hukum yang berminat ingin menjalankan profesi advokat harus selalu :
- teliti dalam merespon suatu perkara
- berhati-hati dalam penanganan
- mencermati setiap inchi tulisan yg tertulis pada dokumen
- ikuti perkembangan dan dinamika hukum
- hindari kesalahan yang gampang dibuktikan
- gunakan insting [kepekaan] dalam penanganan perkara
Ke-6 prinsip tadi sangat gampang
ditulis, tapi sangat sulit dipraktekkan. Manfaat ke-6 cara tadi
semata-mata menghindari agar kita pelaku profesi advokat tidak terpojok
di masyarakat. Karena begitu kita [advokat] terpojok, maka masyarakat
akan kembali semakin memojokkan anda dengan bertanya 'bagaimana anda
membela klien, jika anda sendiri membuat kesalahan dan tidak mampu
membela diri sendiri?