29 February, 2012

Dasar Hukum Putusan Provisionil

Terminologi dari redaksi “provisionil”  dikenal dengan :
  • “provisionileis vonnis”,
  • “putusan takdim”
  • “provisoire"
  • "voorlopige”
  • “provisional”
  • “voorlaufig”
  • “provissorich  ainstwelling”
  • “bij vooraad” dan lain-lain sebagainya.
Pada dasarnya dapat dikonklusikan bahwa “Putusan Provisionil” adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak dilakukan hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.
Dasar hukum pengaturan “Putusan Provisionil” ini tidak diatur secara tegas, tetapi secara selintas dan implisit. Pengaturan tersebut tedapat dalam :
  1. Pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBg
  2. Pasal 53 Rv/Pasal 51 BRv Belanda (Stb 1847-52 yo Stb 1849-63)
  3. Pasal 24 PP 9/1975
  4. Pasal 77, 78 UU 50/2009
  5. Pasal 190, 212 dstnya, 246, 457, 561 dan 1738 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  6. Pasal 75 huruf d dan Pasal 137  RUU Hukum Acara Perdata Tahun 2007
  7. Pandangan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI (Putusan MARI Nomor: 1070 K/Sip/1972 tanggal 7 Mei 1973, Putusan MARI Nomor: 1400 K/Sip/1974 tanggal 18 Nopember 1973, Putusan MARI Nomor: 753 K/Sip/1973 tanggal 22 April 1975) maupun 
  8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI  (SEMA 4/1965 dicabut SEMA 16/1979, SEMA 3/2000 dan SEMA 4/2001).

08 February, 2012

Dasar Hukum Pengangkatan Anak [adopsi]

  1. Undang-undang tentang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002  pasal 39, 40 dan pasal 41. Pasal 91 ketentuan peralihan Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa saat berlakunya undang-undang tersebut, semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang  nomor 23 Tahun 2002.
  2. Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad tahun 1917 nomor 127  dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak  dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tersebut.
  3. Pengaturan dab syarat Pengangkatan Anak sebagaimana diatur dalam  Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 6 Tahun 1983 jo Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4  Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan  Keputusan Menteri Sosial RI Nomor  41/HUK/KEP/VII/1984.
  4. Pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta No.907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 Juncto No. 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963.
  5. Orang tua angkat yang tidak menikah, diperbolehkan mengangkat anak, berdasarkan Pengadilan Negeri Bandung  nomor 32/1970 Comp.tanggal 26 Pebruari 1970

Cara Pembuatan Surat Perjanjian/Kontrak

Mengenai Kontrak 
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai  hubungan bisnis antara orang dengan orang atau orang dengan perusahaan dalam urusan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam pakai dll Kegiatan ini menyangkut perikatan dalam ranah privat dan diatur dalam berbagai aturan antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan hukum Adat. Kegiatan tersebut biasanya tertuang dalam bentuk tertulis yang sehari-hari sering kita lihat, kita saksikan bahkan kita lakukan sendiri dalam pembuatan kontrak,rekes maupun surat-surat resmi lainnya Beberapa contoh perjanjian kegiatan yang sering dilakukan masyarakat seperti jual-beli, sewa-menyewa maupun pinam pakai yang disajikan dibawah ini dapat  menjadi acuan  untuk memenuhi kebutuhan kita dalam melakukan salah satu kegiatan ekonomi tesebut.  Pada prinsipnya hubungan bisnis ini menganut kebebasan masing-masing untuk berkontrak dan menganut azas “Pacta Sunt Servanda” yaitu semua persetujuan yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dan harus dilaksanakan  dengan itikad baik. (Psl 1338 KUHPer). Pada umumnya perikatan lahir dari persetujuan atau karena undang-undang (Psl.1233 KUHPer). Perikatan diartikan sebagai  memberikan sesuatu,berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Psl. 1234 KUHPer). Sedangkan persetujuan /perjanjian merupakan perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seorang maupun lebih (Psl. 1313 KUHPer). Agar suatu persetujuan/perjanjian dianggap sah harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :

    Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri (Psl. 1320 ayat (1) KUHPer)
    Kecakapan untuk melakukan perikatan (Psl. 1320 ayat (2) KUHPer)
    Mengenai suatu pokok persoalan tertentu (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)
    Oleh sebab yang tidak terlarang (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)
 
Suatu persetujuan dapat diadakan  dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Persetujuan cuma-cuma adalah perjanjian yang dilakukan satu pihak yang akan memberikan suatu keuntungan bagi pihak lain dengan tidak menerima imbalan. Sedangkan persetujuan dengan memberatkan mewajibkan para pihak memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Perjanjian tidak terlaksanan atau mempunyai kekuatan mengikat apabila timbul dari kekhilafan atau diperoleh karena paksaan atau penipuan Psl. 1321 KUHPer).  Setiap orang berwenang untuk membuat perjanjian/perikatan kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap untuk itu (Psl 1329. KUHPer) meliputi :
  1. Anak yang belum dewasa (Psl. 1330 ayat (1) KUHPer)
  2. Seseorang dibawah pengampuan (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer)
  3. Wanita yang telah kawin (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer). (Catatan:  Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No.3/1963 tanggal 5 September 1963 yang menyatakan bahwa Psl 108 dan 110 KUHPer yang mengatur seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka pengadilan harus seizin suami sudah tidak berlaku lagi)
  4. Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian/persetujuan tertentu (Psl. 1330 ayat (3) KUHPer).
Persetujuan mengikat apabila dengan tegas ditentukan didalamnya, namun juga menurut sifat persetujuannya dapat dituntut berdasarkan keadilan, kepatutan dan undang-undang (Pasal 1339 KUH Per).   
Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak  atau disebabkan alasan karena undang-undang (Pasal 1338 KUH Per). Perikatan yang dibuat karena paksaan, penyesatan atu penipuan menimbulkan tututan pembatalannya (Pasal 1449 KUH Per).
Bila tuntutan pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi waktunya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus maka pembatasan ditetapkan 5 tahun dan mulai diberlakukan : (Pasal 1454 KUH Per).
  1. Untuk  kebelumdewasaan terhitung sejak hari kedewasaan;
  2. Untuk pengampuan sejak pencabutan pengampuan
  3. Untuk paksaan sejak paksaan itu berhenti
  4. Untk penyesatan atau penipuan sejak diketahuinya penyesatan atau penipuan
  5. Untuk perbuatan seorang bersuami yang dilakukan tanpa surat kuasa si suami terhitung  sejak pembubaran perkawinan.
  6. Untuk segala tindakan yang tidak diwajibkan  yang dilakukan debitur yang menyebabkan kerugian kreditur, sejak adanya kesadaran  perlunya dibatalkan (Psl 1341 dan 1454 KUHPer) 

Bagi salah satu pihak yang perikatannya tidak dipenuhi pihak lain dapat memilih tindakan  untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi persetujuan apabila masih dimungkinkan atau menuntut pembatalan persetujuan dengan penggantian biaya kerugian dan bunga (1267 KUHPer) Penggantian kerugian dapat dilakukan apabila pihak lain telah dinyatakan lalai untuk memenuhi kewajibannya dan telah melampaui tenggang wakltu yang ditentukan sejak pemberitahuan. ( Pas 1243 KUHPer)  Debitor harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga apababila ia tidak dapat membuktikan tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu pelaksanaan perikatan itu disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga diluar kemampuan/kekuasaannya (force majeur) serta bukan karena itikad buruk ( Psl 1244 dan Psl 1245 KUHPer). Biaya ganjti rugi dan bunga yang dapat dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang telah didertitanya dan keuntungan yang sedianya akan diperolehnya. Psl 1245 KUHPer).   

Oleh : Hj. Ninik Hariwanti, SH, LL.M.
Sumber : “Contoh-contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-hari”, Jilid 1-3 (Prof. Mr. Dr. S. Gautama) ; www.bphn.go.id

03 February, 2012

Tidak ada kata maaf

Dalam interaksi sosial bisa terjadi dan bahkan terdapat kemungkinan [sangat besar] terjadinya benturan hak atau benturan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu atau antar individu satu sama lain, dimana benturan-benturan seperti ini akan terus berlangsung terjadi.
Ada berbagai macam benturan kepentingan yang mungkin terjadi, sehingga akan ada 3 jenis keadaan yang tercipta seperti :
  1. ada satu pihak yang berpendapat 'ah acuhkan saja' toh saya tidak rugi terlalu besar, atau
  2. ada pula satu pihak yang merasa sangat dirugikan sehingga berpendapat 'loh tidak bisa begitu dong, ini khan ga adil / ga fair, ini tentu merugikan saya', atau
  3. ada pula kondisi dimana kedua belah pihak merasa sama-sama dirugikan dan sama-sama menyatakan 'baik saya maupun anda sama-sama dirugikan, maka mereka sama-sama merasa memiliki kedudukan untuk menuntut atau menggugat.
Inilah salah satu uraian sederhana mengenai benturan hak atau kewajiban antara satu pihak dan pihak yang lainnya. Dimana peristiwa ini sudah masuk dalam wilayah hukum untuk diselesaikan atau diputuskan. Dalam pengertian hukum maka :
  1. terhadap contoh ke-1 seseorang yang merasa dirugikan akan mendiamkan kerugiannya sehingga masalah itu selesai dengan sendirinya, bahkan ketika orang yang dirugikan bertemu dengan yang telah merugikan, dia tetap mendiamkan bahkan tidak mempermasalahkan segala sesuatu yang telah terjadi.
  2. terhadap contoh ke-2 disini bisa terjadi seorang yang telah dirugikan menuntut kepada si-pembuat kerugian secara musyawarah hingga akhirnya masalah dapat terselesaikan dengan baik ; atau dapat pula seseorang yang dirugikan langsung mengajukan gugatan kerugian melalui Pengadilan Negeri. Sehingga disini akan terjadi dua langkah penyelesaian yaitu musyawarah atau bertempur di pengadilan.
  3. terhadap contoh ke-3, maka kedua belah pihak yang merasa hak-nya telah dirugikan melakukan langkah penyelesaian melalui musyawarah ataupun mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri [sehingga memiliki penyelesaian seperti permasalahan pada nomor dua diatas].
Hal yang memudahkan terciptanya suatu penyelesaian selain adanya kehendak luhur dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa, maka diperlukan juga adanya unsur pemaaf dari pihak yang dirugikan. Walaupun hukum mengatur bahwa si-pembuat kerugian harus memberi ganti rugi dan mengembalikan kedudukan si-penderita kerugian kembali pada posisi semula [sehingga tidak terjadi kerugian], namun sesungguhnya kerugian itu tetap ada dan terjadi, walaupun telah ada ganti rugi yang diberikan oleh pihak yang telah merugikan orang lain.
Berkaitan dengan judul diatas, dalam kondisi bagaimana seorang atau salah satu pihak  tidak perlu memberikan maaf..? Kondisi ini dapat terjadi misalkan seseorang yang telah merugikan orang lain, kemudian telah memberi ganti rugi dan meminta maaf, namun si-penderita kerugian terus saja menuntut hal yang bukan-bukan, bahkan mengajukan gugatan yang diluar kewajaran. Ketika seorang yang telah dirugikan mengajukan gugatan ganti rugi, tapi tidak disertai ketulusan / kesungguhan ingin berdamai, maka bisa muncul sebuah tuntutan yang tidak wajar, karena tanpa disadari tuntutan tersebut muncul disebabkan oleh adanya ketamakan/kerakusan. Tak ubahnya seperti seekor tikus yang meminta keju, setelah diberikan keju maka tikus akan mencuri susu dan seterusnya. Demikian pula dalam hal gugatan atau tuntutan ganti rugi secara rakus yang ditujukan kepada seseorang, akan terus tak berkesudahan dan akan sangat melelahkan bagi pihak yang menjadi Tergugat.
Bagaimana selanjutnya, apakah tuntutan demikian akan kita kabulkan atau-kah akan diamkan? Terhadap seseorang Penggugat rakus, maka sebaiknya kita tak perlu memberikan maaf kepadanya, bahkan tidak 1 sen-pun kerugian yang dialami dan dituntut olehnya, boleh dipenuhi. Apabila nantinya akan muncul berbagai macam gugatan ke Pengadilan, teruslah hadapi penggugat demikian, walaupun kita akan membuang-buang waktu, uang, tenaga, secara sia-sia dalam menempuh prosedur hukum yang berkepanjangan. Karena begitu anda lengah dan kalah menghadapi jenis gugatan yang rakus, maka kemenangan bagi pihak yang rakus akan semakin menjerat anda untuk terus mengajukan gugatan / tuntutan dalam berbagai gugatan yang dimungkinkan. Untuk itu sebaiknya anda tetap waspada dalam bermitra yang tidak memiliki naluri luhur untuk memafkan dan berkenan menyelesaikan sengketa secara normal dan manusiawi.
 
RGS-3 Februari 2012