19 September, 2008

intersepsi melawan hukum


Apakah upaya KPK menangkap tersangka tindak pidana korupsi, dengan cara melakukan penyadapan / intersepsi, sudah benar dan sesuai ketentuan perundangan di Indonesia? Sesungguhnya, sebelum lahirnya uu-ite, kita sudah memiliki beberapa perangkat ketentuan yang mengatur tindakan intersepsi / penyadapan ini, antara lain :
  1. uu-15-2003 : Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 27 Jo. pasal 31 [2] -> penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Untuk Jangka Waktu 1 tahun
  2. uu-22-1997 : Narkotika, Pasal 66 [2] Kepolisian Negara berwenang untuk menyadap melalui telpon atau alat komunikasi lain, untuk jangka waktu paling lama 30 hari
  3. uu-05-1997 : Psikotropika, pasal 55 + penjelasannya Jo. KUHAP : penyadapan pembicaraan melalui telpon dan/atau alat telekomunikasi elektronik lainnya, hanya dapat dilakukan atas Perintah Tertulis Kapolrdi atau Pejabat yang ditunjuk
  4. uu-31-1999 : Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 : pada pasal penjelasan harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri
  5. uu-20-2001 : Pemberantasan TindakPidana korupsi pasal 26.a
  6. uu-36-1999 : Telekomunikasi, pasal 42 [2]
  7. uu-25-2003 : Tindak Pidana PencucianUang
Puncaknya pengaturan intersepsi diatur dalam uu-11-2008 : Informasi & Transaksi Elektronik [lihat kutipan pasal dibawah]. Tindakan penyadapan ini sesungguhnya diperkenankan, namun ada syarat yang harus diperhatikan, yaitu harus disertai izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Apakah KPK telah memenuhi syarat ini? atau-kah sebaliknya KPK kebal hukum & tidak perlu izin untuk melakukan penyadapan?
Ataukah berdasarkan ketentuan diatas tadi + UU-ITE, bisa menjadi langkah awal bagi tersangka-korupsi melalui advokat ataupun secara pribadi mengajukan gugatan pra-peradilan kepada kpk? silahkan mencoba, karena kita harus bersyukur jika hakim di PN setempat sudah memahami UU-ITE ini

Dalam UU-ITE diatur secara tegas larangan "intersepsi melawan hukum" [psl. 31] yang disertai ancaman hukuman penjara 10 tahun + denda 800Juta. Kalaupun ada pengecualian, terhadap tindakan itersepsi UU-ITE mensyaratkan harus memperhatikan KUHAP dan secara spesifik mensyaratkan lagi harus ada izin dari KPN [psl. 43 (2)]. Jadi jangan bosan kalau tidak ada yang menggugat pra-peradilan terhadap KPK, maka intersepsi-melawan-hukum ini akan terus terjadi, oleh aparat penegak hukum khususnya terhadap kpk.
Ataukah anda berpendapat lain?

Jangan bosen yah, baca dulu beberapa kutipan pasalnya,

Pasal 31
  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
  3. Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 43

  1. Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  2. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Ancaman Hukuman
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

15 September, 2008

Seragam Tersangka Koruptor - Langkah Mundur Penegakkan Hukum

Dari beberapa mas media, kita memperoleh informasi adanya gagasan KPK untuk membuatkan dan memberi baju khusus bagi tersangka Korupsi, bahkan sudah ada beberapa desain khusus yang dirancang untuk dikenakan bagi si-tersangka Korupsi. Gagasan ini merupakan kemunduran yang luar biasa dalam penegakkan hukum di-Indonesia, khususnya bagi KPK yang bermaksud untuk menjalankan fungsinya dalam memberantas tindak pidana Korupsi. Apa alasan kami berpendapat bahwa gagasan ini merupakan kemuduran yang luar biasa, adalah sebagai berikut.

Pemakaian Seragam ditujukan kepada Tersangka [yang belum tentu bersalah]

Dalam hukum acara pidana maupun UU Kekuasaan Kehakiman, dikenal istilah azas pra-duga tak bersalah[1], yang inti dari azas ini yaitu seseorang baru dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana [korupsi], apabila sudah ada produk putusan Majelis Hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap yang memutus bahwa seseorang melakukan kesalahan tindak pidana korupsi. Sedang dalam proses hukum acara [pidana] biasanya setiap orang yang diduga salah telah melakukan tindak pidana akan melalui tahap :

  1. Tersangka tindak pidana [korupsi] yaitu seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana ; selanjutnya meningkat statusnya menjadi ;
  2. Terdakwa yaitu seorang tersangka tindak pidana [korupsi] yang dituntut[2], diperiksa & diadili disidang pengadilan, selanjutnya
  3. Setelah melalui proses pemeriksaan di persidangan, kemudian diputus Majelis Hakim bahwa orang ini dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana [korupsi], maka orang tersebut baru dapat disebut sebagai Terpidana yaitu seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap F adanya putusan ini maka orang tersebu telah terbukti secara sah & meyakinkan menurut hukum memiliki “hak” untuk menikmati hukumannya di penjara atau rumah tahanan.



Menanggapi gagasan KPK untuk memberikan baju khusus bagi tersangka Korupsi adalah suatu tindakan yang masih terlalu dini bahkan cenderung sewenang-wenang dan tidak mencerminkan kehormatan penegakkan hukum di Indonesia, karena tindakan ini sesungguhnya telah menempatkan seseorang itu sudah pasti akan menjadi terpidana tindak pidana korupsi, padahal orang dimaksud belum melalui proses selaku terdakwa apalagi menjadi terpidana tindak pidana korupsi. Terlebih lagi dengan seragam yang bertuliskan “State-Prison” atau kalimat lain yang menyatakan pemakai seragam ini adalah pelaku tindak pidana korupsi sejak awal memperoleh status tersangka, maka tindakan ini sesungguhnya telah mencerminkan adanya pelanggaran Azas Praduga Tak Bersalah yang dilakukan oleh KPK terhadap si-tersangka.

Selain itu, kami berpendapat bahwa tindakan pengenaan seragam atau uniform ini mencerminkan adanya penegakkan hukum yang mundur bagi aparat penegak hukum di Indonesia. Pemberian seragam bagi seorang tersangka [tindak-pidana] dalam sejarah hukum pertama kali diperkenalkan oleh Sir Edmund Du Cane pada tahun 1870 ketika menjabat sebagai Pipinan Direktur Tahanan & Peneliti Tahanan Umum, dengan tujuan agar para tahanan memiliki rintangan untuk melarikan diri dan memiliki rasa malu, namun demikian pemberian seragam ini mutlak hanya diberlakukan bagi orang-orang yang secara resmi berstatus narapidana [bukan sejak orang itu menjadi tersangka].





Atau pemberian seragam tahanan terjadi pula bagi tahanan atau tawanan yang meringkuk kamp-konsentrasi atau penjara pada periode Nazi Jerman. Sehingga pada zaman modern sekarang ini, sudah sepantasnya seorang tersangka, terdakwa atau terpidana sekalipun mengenakan pakaian yang pantas baginya sesuai kebijakan / ketentuan rumah-tahanan di Indonesia, tanpa perlu memaksakan seragam tertentu yang hanya menimbulkan pelanggaran azas-praduga tak bersalah oleh aparat penegak hukum [KPK].





A prison uniform is any uniform worn by individuals incarcerated in a prison, jail or similar facility of detention. During the period of Nazi Germany interned people in the German concentration camp system often wore a prisoner's uniform.



Jadi dalam rangka mempertahankan dan/atau memperbaiki citra aparat penegak hukum di Indonesia, sekaligus sebagai pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan hukum masyarakat, sebaiknya KPK atau-pun aparat penegak hukum tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, yang menurut pendapat kami apabila KPK mengeluarkan aturan khusus tertentu bagi tersangka tindak pidana korupsi untuk mengenakan seragam tertentu, terlebih lagi apabila ia masih berstatus tersangka yang mengartikan bahwa orang tersebut belum tentu bersalah, hanya semakin mencerminkan kemunduran citra aparat penegak hukum di Indonesia.

Sebagai penutup : apabila tersangka tindak pidana [korupsi] telah dikenakan baju seragam yang sepantasnya dikenakan oleh seseorang yang telah berstatus narapidana, namun apabila tersangka ternyata diputus bebas, akankah KPK berkenan menjadi tersangka? Selamat merenungkan.



Robaga Gautama Simanjuntak

http://advokat-rgsmtira.com

rgsimanjuntak@gmail.com

Jakarta – 21 Agustus 2008






[1] Hal ini sangat jelas ditegaskan pada butir I.3.c Penjelasan Umum UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum acara Pidana Jo. Pasal 8 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

[2] Oleh Jaksa Penuntut Umum









11 September, 2008

Membuka Informasi Nasabah

27 Maret 2007
  • T : Apakah pihak bank berhak & diperbolehkan membuka info tentang jumlah simpanan & utang nasabah A kpd pihak lain ( termasuk kpd saudara kandungnya A dimana pihak lain tsb punya inisiatif membayar utang A kpd bank karena bila hal ini diperbolehkan bukankah banyak pihak yg asetnya mau disita bank karena terlambat membayar sehingga menyewa pengacara supaya bank memberi kelonggaran justru malah batal sewa pengacara karena permasalahan tsb bisa diselesaikan oleh pihak lain semisal oleh notaris maupun lembaga mediasi ?
  • RGS : Bank pada prinsipnya tidak diperkenankan untuk membuka rahasia nasabah [penyimpan] dimana pengertian Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya [Pasal 1 ayat 28 UU No.10 Tahun 1998] dimana pada pasal 40 kembali ditegaskan bahwa ayat 1 : Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A. Ayat 2 : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi. Namun pengecualian terhadap ketentuan pasal 40 ini hanya diperkenankan jika memperoleh Izin dari Menteri Keuangan, Kepala BPLN & Pimpinan Bank Indonesia Masalah kelonggaran pembayaran dari seorang debitur kepada Bank, tidak ada kewajiban atau keharusan untuk menggunakan jasa Advokat atau bersifat relatif.

Menggugat Keabsahan Akta Cerai

30 Januari 2007
[T] Dalam kondisi surat cerai sudah dikeluarkan oleh kantor catatan sipil & hakim PN juga sdh memutuskan, apakah keabsahan surat cerai tsb masih bisa digugat oleh tergugat yang berkeberatan utk cerai & lalu bagaimana antisipasi pihak penggugat dalam menghadapi hal ini ?

RGS :
[J] jika surat cerai sudah dikeluarkan oleh KCS cerai itu sudah sah, karena akta cerai hanya bisa dikeluarkan KCS jika putusan PN sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Materi perkara mengenai "Keabsahan surat cerai" sangat berbeda dengan materi "tergugat yang keberatan untuk bercerai". Jika surat cerai itu tidak sah, berarti ada kesalahan KCS => gugatan ini diajukan ke PTUN. Sedang tergugat yang keberatan untuk cerai, seharusnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, sebelum putusan PN itu memiliki kekuatan hukum tetap. Antisipasi penggugat : jika gugatan itu benar, silahkan saja dijawab dan dibantah lagi melalui pengadilan berwenang.